Cerpen Autobiografi Mutiara Alam
Judul : Cerpen Autobiografi Mutiara Alam
Genre : Cerpen sederhana, Cerpen Insfiratif, Cerpen Biografi
Pesonanya seolah menyiratkan keagungan, dan kebesaran penciptanya. Ia tidak hanya dikenal dengan pesonanya yang memikat, tapi kebaikan hati dan ketulusan jiwanya yang nyaris sempurna.
Perangainya
tidaklah lantas tinggi hati dan sombong seperti kebanyakan wanita waktu itu.
Karena itulah mengapa kemudian namanya dikenal dengan baik di lingkungan
pesaanteran Al-Ikhya, Cibadak. yang di pimpin dengan khudu kiai Amru Mu’min
seorang ulama terpandang yang tak lain adalah kakenya sendiri. Kiai Amru yang
akrab dengan panggilan Abah ini merupakan kiai yang cerdas dan rendah hati.
Dikenal sebagai ulama yang pakar dalam takhrij hadits. Maka kitab-kitab yang
beliau bahas dan beliau uraikan kepada para santrinya di Pesantren Al-Ikhya
adalah kitab-kitab hadis dan ilmu hadis seperti Kutubus Sittah.
***
Barisan
menara putih nan menjulang tinggi menjadi simbol kemegahan masjid pesantren
yang bertengger dengan gagahnya. Masjid dan pesantern tersebut diberi nama
Al-Ikhya secara langsung oleh pendiri pesantren besar itu yang tak lain adalah
kakek kiai Amru sendiri.
Sentuhan
arsitek ulung dan seniman kelas tinggi yang juga berpadu dengan kokohnya
banguna tersebut, nyaris tidak ada yang bisa membedakan antara bangunan istana
kerajaan dan bangunan istana Al-Ikhya.
Ribuan
santri yang hilir mudik menjadi pelengkap kesempurnaan pesona Al-Ikhya.
Istana
al-Ikhya tak ubahnya maha karya seni kelas tinggi, berpadu dengan kekuatan
konstruksi yang tak tertandingi. Maklum, karena pemimpin pesantren dikenal
memiliki citarasa seni yang sangat tinggi.
Wajar
saja jika keidahan bangunan ini nyaris sempurna, kokoh bak mencakar langit. Tak
hanya itu, norma agama dan nilai budaya juga dibangun dan ditegakan dengan
sangat kokoh oleh sang Abah. seorang kiai yang penuh karismatik dan wibawa ini
dikenal dengan baik di kalangan orang penting dan pejabat pemerintah.
***
Keindahan
dan kemegahan istana Al-Ikhya bukanlah memancar dari bentuk bangaunan yang
menkjubkan, berikut nilai estetik yang menyertainya. Kemegahan itu melainkan
terpancar dari sosok manusia yang secara khusus di ciptakan Tuhan nyaris
sempurna. Seakan-akan Dia (Allah) ingin menunjukan keindahan ciptaannya yang
hampir tiada tara. Wajahnya yang khas dan berkarakter kuat dengan kelembutan
budi dan pekerti. Kecantikan dan pesonanya begitu alami. Kecerdasan berfikirnya
yang mampu menjangkau langit Nusantara. Seolah menyiratkan makna, bahwa Allah
menciptakan maha daya kreasinya pada sosok kaum Hawa yang kemudian diberi nama
almarhum ayahnya dengan nama Azzwa Annisa ini nyaris sempurna. Dia yang akrab
di panggil Azwa, tak lain adalah cucu satu-satunya dari kiai Amru. yang diusia
keranumannya, dua puluh tahunan.
Kulitnya
putih merah merona. Uratnya bergaris gemaris biru muda di permukaan kulit
lembutnya. Postur tubuhnya tinggi semampai menambah keelokan anggah-ungguhnya
yang memikat.
Azzwa
Annisa bak mutiara yang tersimpan rapi dalam peti. Terkunci rapat bak harta
karun yang berharga di abad milenium.
Tak
seorang pun pria bukan mahramnya, yang bisa melihat dan menikmati keindahan
pesonanya. Meskipun begitu nama Azzwa Annisa, menjadi buah bibir warga yang tak
sempat menikmati keindahan pekerti dan perangainya.
Meski
ia tak bercadar seperti halnya perempuan negeri seribu satu malam, tapi
pengagumnya begitu menjamur. Mereka hanya menerka kecantikan budi dan
perangainya lewat cerita dari mulut ke mulut saja. Azwa yang kini tengah
menggali ilmu di Islamabad of university, Pakistan.
Dari
kabar yang bredar kini ia tengah pulang ke tanah air setelah menyelesaikan
Akselerasi program sarjana program studi ‘Akhwal Alsyahsiah’¹. Kedatangannya
senantiasa akan dinantikan banyak orang. Termasuk para Ustad muda yang menaruh
hati padanya, yang kini khusuk mendalami ilmu agama dari Abahnya.
***
Seseungguhnya
tidak sedikit orang yang menyayangkan, kenapa bunga itu selalu di simpan
rapi-rapi dalam kemasnya. Kenapa tidak di biarkan wanginya tercium banyak orang.
Semua
orang boleh saja menyayangkan, tapi aturan syari’at tetap harus di tegakan
dengan kuat begitu kata sang Abah selalu mengingatkannya, selalu di bisikan
padanya agar senantiasa mentasbihkan nama Tuhannya kapan dan dimana ia berada.
Pagi itu adalah pagi pertamanya ia membuka mata dengan nuansa yang berbeda,
atmosfer alam sekitar Cibadak ia rasakan begitu remaja. Lantunan azan subuh
sebentar lagi akan berkumandang. Irama alam ini yang selalu menyadarkannya dari
lamunan fajar yang merekah kemerahan di langit timur.
Sejak
kecil Abahnya selalu mengajaknya untuk senantiasa akrab dengan pesona langit
subuh hari. Bisikan tasbih selalu membasuh hatinya. Mentausyahnya untuk
merenungi dan mentafakuri segala bentuk ciptaan Allah Ta’alla berupa kenikmatan
bersujud simpuh bersua dengan_Nya.
Keindahan
itu masih sangat jelas tergambar di benaknya. Keindahan yang selalu mengalirkan
rasa takjub pada Dzat yang menciptakannya.
***
Azwa
berdiri di depan jendela kamarnya yang ia buka lebar-lebar. Ia memandangi
langit. Menikmati fajar. Dan menghayati tasbih alam Cibadak pagi itu. Dengan
dibalut mukena putihnya ia menikmati keindahan alam dari jendela kamarnya. Ia
hirup dalam-dalam aromanya yang khas. Aroma yang sama dengan aroma yang ia
rasakan saat ia kecil dulu. Tak ada yang berubah. Terhampar tenunan sutera alam
pesawahan kian memanjang. Tenunan sutra alam bermotif bunga-bunga beraneka
warna. Tenunan itu kian indah dengan tetesan embun yang disibak matahari yang
baru membuka matanya. Atmosfer alam seperti ini sudah ia rindukan sejak lama.
Hamparan padi yang menguning indah, pagi itu seumpama serafan keindahan taman
surga yang dipindahkan Allah dari langit ketujuh, untuk menyambutnya.
Azwa
tengah khusuk tenggelam dalam menekuri dan mentafakuri tasbih alam yang
melenakan hatinya. Hati kecilnya seraya Ta’dzim bertanya, siapa yang mempu
menciptakan keindahan seperti ini?
Tapi
tak segera menemuka jawaban yang mampu melegakan hatinya, selain sujud simpuh
penuh syukur pada Rabb seru sekalian alam. Lewat perintah penciptanya, pagi itu
alam begitu menjamunya. Dengan jamuan dan perlakuan yang sempurna. Pagi itu
juga Azwa merasa kepedihan hatinya selama ini sudah terobati. Jiwa yang gulana
telah menemukan penawarnya. Rasa penat, lelah dan lumlay telah tersingkir jauh
entah kemana. Sebab saat itu pesona yang begitu menakjubkan, ia peras dari
keagungan dan kebesaran_Nya.
***
Sejenak
kita tinggalkan pesona alam yang dirasakan Azwa dengan segala keindahannya.
Kita tengok jauh di belahan bumi lain Daus sedang sibuk mengemasi
barang-barangnya, Karena tengah hari nanti ia harus segera ke bandara dan
meluncur ke Jakarta. Tiket pesawat tak lupa ia siapkan.
Seorang
pemuda yang memiliki nama panjang Muhamad Firdaus ini akrab di panggil Daus
oleh teman-temannya. Daus merupakan pemuda yang ulet, pekerja keras dan rendah
hati. Dengan bermodal pendidikan D3 bidang Bisnis dan Menejmen, dengan skill
dan keuletannya ia pernah menjadi asisten manajer di perusahaan yang bergerak
di bidang eksport-import di Jakarta.
Daus
yang kini genap berusia 24 tahun, tengah berbahagia dengan merampungkan
beasiswa pendidikan Strata 1 (S1) bidang Ekonomi Syari’ah di Tajmahal Of
University, India. Kini ia bermaksud tengah melakukan tugas penelitian
terakhirnya yang akan ia lakukan di tanah air. Kecerdasan qalbiah dan
Spiritualnya (intelektual dan agama) merupakan anugrah yang Allah titipkan
lebih padanya. Kecerdasannya bak serapan kecerdasan Nabi Muhamad saw yang
pernah di bedah Qalbunya sebanyak empat kali oleh Malaikat Jibril. Yang kemudian
di bersihkan dengan air Zam-Zam.
Ketampanannya
seolah-olah titisan kanjeng Nabi Yusuf As, yang di turunkan Allah padanya.
Seumpama rembulan diantara bintang gemintang. Kesabarannya bagaikan percikan
kesabaran yang Allah berikan pada Nabi Ya’kub As. Tapi jangan tanya Daus
tentang cinta, akal sehatnya dangkal untuk menerangkan cinta. Lisannya kelu.
Imajinya kosong. Maklum, sejak kecil ia belum pernah berpacaran. Dari kecil
hanya sebagian orang saja dari teman-teman karibnya yang perempuan, itupun tidak
pernah ia menaruh harapan.
Demi
Allah aku adalah laki-laki normal, begitu pengakuannya ketika di tanya salah
seorang teman kerjanya. Ia tidak mau susah-susah mencari-cari cinta, karena
cinta itu sebetulnya sudah ada. Sudah di gariskan oleh tangan Tuhan bahwa
sesungguhnya manusia diciptakan berpasang-pasangan.
Dia
tidak mau mengharap pada cinta yang tidak pasti. Ataukah sesungguhnya belum ia
temukan gari-garis kecantikan yang ia idamkan pada sosok wanita yang munggkin
bias menjerat hatinya. Tanpa ia tahu kalau sesungguhnya ia telah di jodohkan
ibunya sejak lama. Bahkan mungkin sejak ia masih kanak-kanak.
Tatkala
cinta pilihannya datang dan dilaluinya, suara imannya masiih akan tetap
berbicara. Antara dua cinta yang dicari bukanlah segalanya. Hatinya terkesima
pada cinta Allah dan Rasul yang menerangkan cinta dan percintaan.
***
Tak
terasa lamanya kini Daus tengah bersukacita dengan sanak saudaranya, mengobati
rasa kangen pada keluaga tambatan hatinya. Merebahkan penat. Menikmati alam
desa Muara yang memukau menghangatkan jiwa. Sang Ibu kembali mengingatkan.
“Jang², kalo Ambu³ perhatikan, umurmu sudah terbilang tua. Apa henteu kapikiran¹¹
untuk menikah?” begitu kata Sang Ibu.
2. Panggilan bahasa Sunda
untuk anak laki-laki kesayangan
3. Ambu: Ibu
11. Tidak terpikir
Dengan
panjang lebar sang Ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalan kandungan Daus
telah dijodohkan dengan seseorang yang tak pernah dikenalnya.”
“Ibu
pernah mengikat janji, dengan teman karib ibu waktu di pesantern dulu, jika dikarunia
anak berlainan jenis akan besanan untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena
itu ibu mohon keikhlasanmu, Jang.” ucap sang ibu dengan nada mengiba. Daus
tunduk dan bisu, dia tidak bisa berbuat apa-apa berhadapan dengan airmata Sang
Ibu yang dihormatinya.
Rasanya
ia tak dapat menampik hatinya, kalo ia telah memiliki tambatan dan kriteria
calon pendamping hidupnya. Melihat gelagat anaknya seperti itu Sang Ibu
mengerti.
“Apa
kamu sudah punya tambatn hati anakku.?” Dengan runtut Daus menceritakan tentang
gadis pualam yang telah mencuri hatinya, sewaktu ia menghadiri pertemuan
mahasiswa Indonesia berprestasi di Turkey. Yang konon katanya dia menjadi
rebutan semua mahasiswa Indonesia disana. Matanya terperanjat ketika saat itu
sang gadis melempar pandangan kepadanya.
Tak
ayal pertemuan paandangan itu tak dapat di bantah lagi, dan terjadi begitu
saja. Daus tak ubahnya tertikam belati tajam tepat menghujam jantungnya, usai
melihatnya. Ada getaran-getaran aneh disitu, yang dia pun tak tahu itu perasaan
apa. Ada misteri yang tak dapat di sibak mantranya. Mungkin ini adalah rahasiah
hati, rahasia jiwa, dan rahasiah cinta. Tapi ai tak mampu menguraikan hal itu.
Beberapa
hari setelah kejadian itu, Daus merasa ada penyakit aneh yang bersemayam dalam
dirinya. Penyakit yang ia sendiri tidak tahu apa sebabnya. Derita dan
kegelisahan yang dialaminya semakin lama semakin merusak jiwanya. Langkannya
menjadi gontai. Jiwanya rapuh. Dan imajinya melayang-layang mencari-cari
siapakah gerangan yang memiliki mata sebegitu indah itu. Gerangan ranting dari
pohon manakah ia berasal? Gerangan dari semak manakah mawar itu merekah? Ia
tidak mengenalnya sama sekali. Tapi getaran yang Daus rasakan ternyata mampu
menembus batas lahiriah fisik tambatan hatiya.
Kini
Daus lantas mencari-cari bagaimana menyempurnakan petunjuk jiwanya itu.
Bagaimana ia tidak gelisah kalo tambatan hatinya belum ia temukan. Bagaimana
jiwanya tidak goncang jika ia belum sepenuhnya bisa memilikinya dengan ikatan
yang halal.
Itulah
sebabnya Daus masih ragu dengan pertanyaan sang ibu yang baru saja didengarnya.
Dalam
pergulatan jiwa yang sulit dikalahkan, akhirnya Daus pasrah. dia menuruti
keinginan Sang Ibu. Dia tak mau mengecewakan Sang Ibu yang dicintainya. Daus
ingin menjadi mentari pagi dihatinya, meskipun untuk itu dia harus mengorbankan
dirinya. Dengan hati pahit ia pasrahkan semuanya bulat-bulat pada Sang Ibu.
Meskipun sesungguhnya dalam hatinya timbul kecemasan-kecemasan yang datang
begitu saja dan tidak tahu alasannya apa. Jauh dalam lubuk hatinya Daus ingin
memberontak pada Sang Ibu, tetapi wajah teduhnya selalu saja meluluhkan hatinya.
***
Kita
tinggalkan Daus dengan perasaan gamang, bingung tak berkesudahan. Kita tengok
kembali Azwa yang tengah khusuk membaca La Tahzannya Dr. Aidh Al-Qarni.
"Neng,
Ummi ingin bicara sebentar denganmu bisa?" Kata Ummi nya, dengan wajah
serius.
"iya,
bisa Ummi." Jawabnya sambil menghadapkan seluruh wajahnya pada Sang Ummi
yang di cintainya.
"Begini,
Neng, Ummi rasa kamu harus segera menikah. Kamu harus segera memutuskan siapa
yang kamu pilih untuk menjadi pendamping hidupmu. Jika Ummi perhatikan, sudah
beberapa kali engkau menolak lamaran yang datang. Dan Ummi rasa lamaran itu
datangnya tidak dari orang sembarangan. Ummi ingin menyampaikan sesuatu padamu,
Neng.
Dengan
runtut Sang Ummi bercerita panjang lebar, Azwa terdium sesaat. Mendengar cerita
Sang Ummi yang begitu serius. Membuat imajinya buyar. Fikirnya kosong.
Penjelasan dari Sang Ummi bak petir di siang hari. Mesti tidak ada kobaran api,
hatinya seolah hangus terbakar. Sayatan demi sayatan tajam menghantam jiwanya,
meski tak ada bilah pisau disana. Kini ia tengah dirundung nestapa yang sangat
dalam. Jauh dalam hatinya ingin berontak pada Sang Ummi. Tapi rasa hormat dan
ketaatannya pada Sang Ummi masih bisa mengatasi semuanya.
“Maaf,
sekiranya hal ini membuatmu sedih dan terpukul, Neng.” Lanjut Sang Ummi dengan
nada memaaf.
Azwa
diam saja. Tubuhnya mematung. Bibirnya terkunci rapat.
Melihat
kebingungan Azwa Umminya malah bertanya,
"Jujur
sama Ummi, Neng, adakah seseorang yang sebenarnya kau damba. Dalam bahasa anak
mudanya kau naksir padanya?"
Ia
menggelengkan kepala.
"Tapi
pernahkan kau bertemu dengan seorang pemuda yang sangat berkesan di
hatimu?" Lanjut Sang Ummi.
Sesaat
jiwanya melayang-layang mengingat-ingat sosok yang mungkin saja telah mencuri
hatinya. Tapi tak segera menemukan jawabannya. Ia tetap menggelengkan kepalanya.
Tiba-tiba
ia teringat pada sosok manusia kecil yang pernah mengindahkan masa lalunya .
Kehadiran
manusia kecil yang menurut banyak temannya sangatlah tampan dan baik hati. Bak
malaikat yang menjelma menjadi anak manusia. Yang ketanpanannya seumpama
rembulan diantara bintang-gemintang. Sorot matanya lebih tajam dari matahari.
Semua mata yang memandangnya niscaya terpana. Semua yang berpapasan dengannya
niscaya terkesima. Mata indah yang dengannya dia bisa melihat keindahan cinta
yang memabukan.
Kesejukan
budinya, ia rasakan bak angin surga yang menyibak peluh jiwanya. Bak perasan
anggur surgawi yang menyegarkan dahaganya.
Beribu
pertanyaan bertebaran dalam benaknya. Dimanakah gerangan malaikat kecil itu
berada saat ini ? Aliran sungai manakah yang menyeretnya, pergi? Kenapa angin
malam tidak juga mengabarkan berita tentang malaikat kecil itu padanya?
Ah..andai
saja dia tau dimana malaikat kecil itu berada saat ini, niscaya dia akan segera
terbang menghampirinya. Dan mengajaknya terbang mengarungi bahtera kehidupan
yang terbentang luas di hadapannya.
“Ummi
ingin kasih tau sesuatu, Neng. Tadi malam ada seorang pemuda yang datang lagi
untuk melamarmu. Dia adalah putera Kiai Hasan dari pesanteran Ranca. Dia dulu
juga santri di pesantren ini. Tapi keputusan ada di tanganmu, Neng. Sebab
engkau sudah besar, sudah sangat berpendidikan."
Azwa
sedikit terperanjat. Ia jadi penasaran siapa santri itu?
"Pernah
nyantri di sini Mi?"
"Iya."
"Siapakah
dia Ummi? Apa Neng mengenalnya?"
"Mungkin
saja."
"Namanya
siapa Ummi?"
"Nak
Firman, Neng."
"Firman
yang mana ya Mi?"
“Mungkin
saja kamu tidak mengenalnya, Nenk. Pokoknya jangan sampai kau mempermalukan
Ummi dah Abahmu”.
“Ummi
tak perlu khwatir, hati Neng, sudah ada yang memiliki Ummi”
“Siapa,,bisa
kau ceritakan lebih detail lagi pada Ummi?”
Dengan
runtut Azwa menceritakan ketertarikannya pada malaikat kecil yang menjadi
pahlawan baginya dari gangguan tangan-tangan jail masa kecilnya. Malaikat kecil
itu selalu mengepakan sayapnya membawanya terbang kalo-kalo bahaya menderanya.
Beberapa
hari setelah itu. Azwa belum juga mantap, siapakah gerangan yang akan ia pilih
untuk mendampinginya. Tak ada petunjuk jiwa yang membentangkan jalan baginya.
Saat ini imajinya menguraikan kembali sejarah cinta yang terkubur lama. Setitik
rasa yang tertimbun waktu, kini telah hidup kembali. Api cinta kini telah nyala
kembali, yang tak sempat padam meski telah terhempas angin, yang tak sempat
mati walau hujan menderanya. Nafas cinta yang sempat terpenggal kini hidup
kembali menghembus halus, lewat jari-jemarinya. Kini ia merasa hari-harinya
menjadi pahit. Karena rindu kian menderu, menyala-nyala dalam hatinya. Imajinya
masih mengukir keindahan malaikat kecilnya, keindahan yang sempat terlupakan.
Kini menjelma menjadi nyala api yang siap menghanguskan jiwanya.
***
Kita
tinggalkan Azwa dengan gejolak masa lalunya. Kini kita tengok kembali Daus yang
mengidap penyakit yang hampir sama. Bayang-bayang tambatan hatinya bagaikan
menari-nari di pelupuk matanya. Jiwanya hampa. Dia merasakan penyakit jiwanya
makin lama makin menggrogoti separuh jiwanya. Hatinya yang telah di curi oleh
sang putri anta branta, yang tak tau dari mana asalnya. Kini ia merasa
hari-harinya menjadi aneh. Semua orang yang di kenalnya menjadi asing. Segala
yang disukainya menjadi menjemukan. Tubuhnya gontai, di hempas rasa rindu yang
tak berkesudahan. Kini ia bener-bener bingung yang tak menentu. Tak ada
muaranya. Perasaan ingin memberontak pada Sang Ibu kian memuncak. Tapi tutur
katanya masih saja meluluhkan hatinya. Hari berganti hari ia rasakan begitu
cepat. Tak terasa hari penikahan yang telah di sepakatinya akan segera tiba. Daus
berusaha menyembunyikan ekspresi kekecewaannya di hadapan Sang Ibu. Meskipun
sesungguhnya dalam hatinya timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu saja
dan tidak tahu alasannya. Yang jelas Daus sudah punya kriteria dan impian
tersendiri untuk calon istrinya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa berhadapan
dengan air mata Sang Ibu yang amat dicintainya.
Bebrapa
hari sebelum hari pernikahan tiba, ia mencoba menumbuhkan cinta dan simpati
pada calon isterinya. Tapi sia-sia belaka. Tak ayal bayangan sang puteri bagai
genderang yang siap di tabuh dalam benaknya.
Hari
pernikahan datang. Daus duduk dipelaminan bagai mayat hidup, hatinya hampa
tanpa cinta, Pestapun meriah dengan empat group rebana. Lantunan shalawat
Nabipun terasa menusuk-nusuk hatinya.
Merupaka
kebiasaam masyarakat kami, dalam akad nikah pengantin perempun tidak
diperkenankan mendampingi pengantin laki-laki selama akad belum syah. Ada yang
aneh pada perayaan walimatul uruts kali ini. Pengantin perempuan menggunakan
cadar yang menutupi wajahnya, sungguh ini kali pertama terjadi dalam kebiasaaan
masyarakat kami pada umumnya. Cadar yang melingkar indah laksana benteng yang
kokoh menututupi setiap pasang mata yang ingin menyinggahi aura kecantikannya.
Tapi
meskipun begitu keindahan itu tetap memancar menembus batas tabir
penghalangnya. Sesekali Daus mencoba merekahkan bibirnya menandakan kebagiaan
atas pernikahannya. Tapi jauh di balik itu semu, imajinya melayang entah kemana
menampik kenyataan dan akal sadarnya sendiri. Pestapun berlalu dan sampai pada muaranya.
Anggur kebahagiaan telah selesai di peras. Kini saat yang dinanti semua orang
telah tiba. Genderang telah di tabuh indah. Biola cinta telah berdawai,
menyanyikan sair-sair indah tumpuan semua pasangan. Tapi tidak untuk keduanya.
Bayangan pangeran kecil tak jua enyah dari tangkai hatinya Azwa. Seakan ia tak
mengijinkan pernikahannya terjadi, dan tak menghalalkan dirinya untuk seorang
Daus yang kini berada berapa senti meter dari tatapannya.
Begitupun
Daus, akalnya berbaring tak berdaya. Hatinya telah di bawa pergi, si pencuri
yang kini memenuhi ruang hatinya. Seakan tak ada calah untuk memasukan Azwa
dalam ruang hatinya. Di takdirakan sebagai manusia yang sedikit mengerti
syari’at, Daus pun mencoba menunaikan kewajibannya dengan penuh kepura-puraan.
Malam
itu, ketika angin kerinduan masih bertiup kencang. Bayang-bayang tambatan
hatinya kini seolah menjelma menjadi nyata. Setelah shalat sunat dua raka’at
perlahan Daus bangkiat dari duduknya. Saat pertemuan kini telah datang. Daus
berjalan menuju singgasana pengantin yang menjadi tempat Azwa bersemayam. Daus
memasuki singasana dengan hati tertinggal. Sedetik kemudian ia pun menghilang
di balik pintu yang tertutup. Ia duduk di sofa yang berada di tengah ruangan.
Ia sapukan pandangannya pada setiap sudut ruangan. Di setiap penjuru kamar ia
hirup semarbak bau wewangian surgawi yang memikat. Lilin-lilin kecil yang
memancarkan sinar warna-warni diletakan di beberapa sudut ruangan, kian
indahnya. Cahaya yang terpancar indah menambah kesenduan dua hati yang terpenjara
di ruang dan waktu yang berbeda.
Azwa
tengah khudu dengan Al-qur’an yang di genggamnya. Bertemaram indah membelakangi
Daus yang tengah memperhatikannya. Azwa berpura-pura tak mendengarkan suara
yang datang. Suasana hening lama.
Pada
dasarnya hati manusia Allah ciptakan memilik kecenderungan pada setip
keindahan. Begitu pula yang Daus rasakan saat ini. Lilin-lilin itu seolah
bercerita penuh makna padanya.
Wahai
pecinta janganlah kau menunggu lama
Segera
petik mawar yang kini tengah merekah indah
Duhai
perindu yang berselimut sendu
Bangkitlah,
agar engkau dapat menyambut dan menerimanya
Duhai
perindu yang selalu dahaga
Bangkitlah,
karena perasan madu telah menanti tegukanmu
Sebab
waktu yang di tunggu kini telah tiba
Fajar
pagi kini telah menyingsing
Bangkitlah
engkau dari tempat yang menjemukan itu
Bangkitlah
engkau, karena kini telah tiba masanya
Dengan
tenang, ia bangkit dari tempat duduknya.
menghampiri
sosok yang sejak tadi mematung indah dengan balutan busana yang menutup
mukanya. Seakan-akan ia enggan membukanya. Jika di perhatikan lebih dekat ada
percikan air di matanya. Daus melihat Azwa dengan uraian air mata membasahi
pipinya. Rasa iba segera lahir di hatinya. Azwa duduk di balik temaram cahaya
lilin yang indah. Daus mendekatinya. Ada getar halus menelusup di hatinya,
seakan ada isyarat jiwa yang membuatnya tiba-tiba menyerahkan jiwa raganya pada
lelaki yang telah memilikinya. Seraya memejamkan matanya. Daus perlahan membuka
penutup wajahnya. Ada sihir mujarab yang mengajak tangannya bergerak.
“Anisa”
Suara Daus girang.
Azwa
kaget, Sesaat memori masa lalunya hidup kembali. Ia merasa mengenal panggilan
manis itu. Panggilan yang hanya di ucapkan pangeran kecilnya. Ia serta-merta
membuka matanya.
“Firdaus”
jawabnya sontak.
Mereka
berdua bertatap mata. Dua mata yang damai dan syahdu menyatu menjadi satu. Hati
mereka seraya berpelukan dalam rindu yang lama terpendam. Api cinta yang dulu
membakar mereka tanpa sia-sia, kini berubah menjadi madu dan anggur yang memabukan
jiwa. Hanya lilin-lilin didalam kamarlah yang menjadi saksi antara pertemuan
dua jiwa yang saling mencinta. Lilin-lilim itu seolah berucap tahniah atas
pertemuan sepasang kekasih itu. Yang sebentar lagi akan meneguk anggur
kebahagiaannya.
Selama
tiga hari penuh kedua pegantin itu masih sibuk dengan kenikmatan dunianya.
Mereka tidur dalam buaian mimpi indah, dan bangunpun dengan mimpi yang juga
indah. Makanan mereka adalah madu kebersamaan, dan minumannya adalah segarnya
anggur rerayuan.
Angin
kebahagiaan bertiup sepoi-sepoi di luar sana, burung-nurung bersiul merdu di
atas reranting pepohonan. Kupu-kupu beterbangan. Semua itu adalah perwujudan
tasbih alam yang turut mendo’akan semoga kebahagiaan mereka di ridhoi Radd
penggenggam cinta.
Bumi Allah, 22 Ramadhan 1431 H
Hamba Allah Yang Dha’if
Hamba Allah Yang Dha’if
-SELESAI-
SF Terima kasih
ReplyDelete