Konsep Ketahanan dan Keamanan Pangan
"Konsep Ketahanan & Keamanan Pangan"
Bab
I
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan dasar yang permintaannya terus
meningkat seiring dengan perkembangan jumlah penduduk dan peningkatan kualitas
hidup, namun demikian dalam beberapa hal definisi atau konsep ketahanan pangan
sangat bervariasi pada banyak pihak yang berkepentingan.
Pada tahun 1987, World Commision on Environment and
Development (WCED) menyerukan perhatian pada masalah besar dan tantangan yang
dihadapi pertanian dunia, jika kebutuhan pangan saat ini dan mendatang harus
terpenuhi, dan perlunya suatu pendekatan baru untuk pengembangan pertanian, dan
pada beberapa tahun terakhir ini perhatian dunia terhadap ketahanan pangan
dirasakan semakin meningkat, oleh karena pangan merupakan kebutuhan dasar yang
permintaannya terus meningkat seiring dengan perkembangan jumlah penduduk
dunia. Pangan diproduksi secara luas sehingga dunia surplus pangan, tetapi
mengapa banyak orang yang masih kelaparan (Barichello, Rick, 2000). Tulisan ini
dimaksudkan untuk mereview ketahanan pangan khususnya di Indonesia, oleh karena
masih banyaknya permasalahan ketahanan pangan dan pengertian yang terkait
dengan ketahanan pangan tersebut.
1.2. Definisi
Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan umumnya merupakan capaian peningkatan
ketersediaan pangan dengan ruang lingkup wilayah nasional, sasaran utamanya
adalah komoditas pangan dari produk pertanian seperti beras, jagung, kedelai,
kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar strategi yang diterapkan dalam
swasembada pangan adalah subtitusi impor dengan target yang diharapakan adalah
peningkatan produksi pangan dengan sasaran petani. Sedangkan hasil target
ketersediaan pangan oleh produk domestic (tidak impor).
Kemandirian pangan merupakan kondisi dinamis karena
sifatnya lebih menekankan pada aspek perdangan atau komersialisasi: kemandirian
lebih menuntut daya saing tinggi karena produk yang dihasilkan pada skema
proporsi ekspor, sedangkan swasembada lebih tertuju pada skema subtitusi impor.
Ruang lingkup dari kemandirian pangan adalah nasional/wilayah dengan sasaran
komoditas pangan dengan strategi yang diterapkan adalah peningkatan daya saing
atau dapat dikatakan promosi ekspor. Upaya atau harapan yang ditargetkan adalah
peningkatan produksi pangan yang berdaya saing pangan sehingga hasil yang akan
didapatkan ketersediaan pangan oleh produk domestic yang didapatkan dari hasil
petani sebagai stake holder dalam negeri sedangkan impor hanya digunakan
sebagai pelengkap.
Kedaulatan pangan adalah kebebasan dan kekuasaan rakyat
serta komunitasnya untuk menuntut dan mewujudkan hak untuk mendapatkan produksi
pangan sendiri dan tindakan melawan kekuasaan perusahaan-perusahaan serta
kekuatan lainnya yang merusak system produksi pangan rakyat melalui
perdagangan, investasi, serta alat kebijakan lainnya. Tetapi dengan menggunakan
konsep kedaulatan rakyat dalam kenyataannya (sebagai contoh di Negara India),
menerapkan konsep tersebut mengakibatkan kelaparan yang bertambah buruk sebagai
indikasi tindasan terhadap hak atas pangan masih, maka selama berlangsungnya
World Food Summit tahun 1996, konsep kedaulatan pangan diajukan menjadi bahan
perdebatan public untuk mencari alternative jalan keluar dinegara-negara yang
menerapkan konsep kedaulatan pangan. Ruang lingkup dari kedaulatan pangan tidak
jauh berbeda dengan swasembada pangan dan kemandirian pangan yaitu ruang
lingkup secara nasional dengan sasaran petani sebagai pengelola lahan produktif
dapat menghasilkan pangan yang beraneka ragam serta selain itu dengan prioritas
petani maka akan dapat mengurangi alih fungsi lahan sebagai pengahasi pangan
dengan adaka kebijakan terhadap ha-hak atas petani. Strategi yang diterapkan
adalah pelarangan impor dengan target utama peningkatan produksi pangan dengan
menekankan perlindungan pada petani sehingga menghasilkan kesejahteraan petani.
Ketahanan pangan menurut definisi FAO 1997 merupakan
situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi
untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dimana rumah tangga
tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut. Berdasarkan definisi
dapat disimpulkan bahwa ketahanan pangan memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi
yaitu berorientasi pada rumah tangga dan individu, dimensi waktu setiap saat
pangan tersedia dan dapat diakses, menekankan pada akses pangan rumah tangga
dan individu, baik fisik, ekonomi dan social, berorientasi pada pemenuhan gizi
serta ditujukan untuk hidup sehat dan produktif. Dalam konsep ketahanan pangan
ruangnya lingkup berdeda dengan yang lain yaitu meliputi rumah tangga dan
individu. Strategi yang diterapkan dalam konsep ketahan pangan adalah
peningkatan ketersediaan pangan, akses pangan, dan penyerapan pangan. Capaian
utama dalam konsep ini meliputi peningkatan status gizi (penurunan kelaparan,
gizi kurang dan gizi buruk). Hasil yang diharapkan adalah manusia sehat dan
produktif (angka harapan hidup tinggi) pada konsep ketahanan lebih mengutamakan
akses setiap individu untuk memperoleh pangan yang bergizi untuk sehat dan
produktif. Konsep ketahanan pangan yang sempit meninjau sitem ketahan pangan
dari aspek masukan yaitu produksi dan penyediaan pangan. Seperti yang banyak
diketahui, baik secara nasional maupun globlal, ketersediaan pangan yang
melimpah melebihi kebutuhan pangan penduduk tidak menjamin bahwa seluruh
penduduk terbebas dari kelaparan dan gizi kurang. Konsep ketahan pangan yang
luas bertolak pada tujuan akhir dari ketahan pangan yaitu tingkat kesejahteraan
manusia.
Aspek-aspek ketahanan pangan terdiri dari 4 (empat) yaitu
ketersediaan, akses, penyerapan pangan dan stabilitas pangan. Sedangkan status
gizi merupakan outcome dari ketahanan pangan. Ketersediaan akses, dan
penyerapan pangan merupakan aspek yang harus terpenuhi secara utuh. Salah astu
aspek tersebut tidak terpenuhi maka satu Negara belum dapat dikatakan mempunyai
ketahanan pangan yang cukup baik. Walaupun pangan tersedia cukup di tingkat
nasional dan regional, tetapi jika akses individu untuk memenuhi pangannya
tidak merata, maka ketahan pangan masih dikatakan rapuh. Secara rinci
penjelasan mengenai subsistem tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
Aspek Ketersediaan (Food Availability) : yaitu
ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk semua orang
dalam suatu negara baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan
pangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ini diharapkan mampu
mencukupi pangan yang didefinisikan sebagi jumlah kalori yang dibutuhkan untuk
kehidupan yang aktif dan sehat.
Dari perspektif sejarah istilah ketahanan pangan (food
security) muncul dan dibangkitkan karena kejadian krisis pangan dan
kelaparan.7 Istilah ketahanan pangan
dalam kebijakan pangan dunia pertama kali digunakan pada tahun 1971 oleh PBB
untuk membebaskan dunia terutama negara–negara berkembang dari krisis produksi
dan suplay makanan pokok.
Fokus ketahanan pangan pada masa itu menitik beratkan
pada pemenuhan kebutuhan pokok dan membebaskan daerah dari krisis pangan yang
nampak pada definisi ketahanan pangan oleh PBB sebagai berikut: food security
is availability to avoid acute food shortages in the event of wide spread coop
vailure or other disaster (Syarief, Hidayat, Hardinsyah dan Sumali, 1999).
Selanjutnya definisi tersebut disempurnakan pada
Internasional Conference of Nutrition 1992 yang disepakati oleh pimpinan negara
anggota PBB sebagai berikut: tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan setiap
orang baik dalam jumlah dan mutu pada setiap saat untuk hidup sehat, aktif dan
produktif.
Bab
II
Tinjauan
Pustaka
2.1.
Keamanan Pangan
Keamanan pangan adalah jaminan bahwa pangan tidak akan
menyebabkan bahaya kepada konsumen jika disiapkan atau dimakan sesuai dengan
maksud dan penggunaannya (FAO/WHO 1997).
Sedangkan definisi keamanan pangan menurut Undang –
Undang Republik Indonesia nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan
Pemerintah nomor 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan adalah
kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan
cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan
membahayakan kesehatan manusia. Ketentuan mengenai keamanan pangan meliputi
sanitasi pangan, bahan tambahan pangan, rekatasa genetika dan iradiasi pangan,
kemasan pangan, jaminan mutu dan peperiksaan laboratprium, dan pangan tercemar.
Selain hal tersebut, di dalam peraturan yang sama juga disebutkan bahwa setiap
orang dilarang mengedarkan pangan yang mengandung bahan beracun, berbahaya,
yang dapat merugikan, atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia.
Salah satu cara produsen untuk memenuhi ketentuan
tersebut adalah mengikuti peraturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah,
termasuk persyaratan sanitasi di setiap rantai pangan, yang meliputi proses
produksi, penyimpanan, pengangkutan dan peredarannya serta penerapan cara
produksi makanan yang baik (CPMB).
Bab
III
Pembahasan
3.1.
Perspektif Pembangunan Ketahanan Pangan
Dalam undang-undang RI Nomor 7 tahun 1996 disebutkan
bahwa ke-tahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga
yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,
aman, merata dan terjangkau. Pe-ngembangan ketahanan pangan mempunyai
perspektif pembangunan yang sangat mendasar karena:
1.
Akses
terhadap pangan dengan gizi seimbang bagi segenap rakyat Indonesia
merupakan
hak yang paling azasi bagi manusia.
2.
Keberhasilan
dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia sangat
ditentukan oleh keberhasilan pemenuhan kecukupan dan
konsumsi pangan dan gizi.
3.
Ketahanan
pangan merupakan basis atau pilar utama dalam mewujudkan
ketahanan
ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan (Anonymous, 2001).
Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terintegrasi
yang terdiri atas berbagai subsistem. Subsistem utamanya adalah ketersediaan
pangan, distribusi pangan dan konsumsi pangan. Terwujudnya ketahanan pangan
me-rupakan sinergi dari interaksi ketiga subsistem tersebut.
·
Subsistem
ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan serta keseimbangan antara
impor dan ekspor pangan. Ketersediaan pangan harus dikelola sedemikian rupa
sehingga walaupun produksi pangan bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar
wilayah, tetapi volume pangan yang
tersedia bagi masyarakat harus cukup jumlah dan jenisnya serta stabil
penyediaannya dari waktu ke waktu.
·
Subsistem
distribusi pangan mencakup aspek aksesibilitas secara fisik dan ekonomi atas
pangan secara merata. Sistem distribusi bukan semata-mata menyangkut aspek
fisik dalam arti pangan tersedia di
semua lokasi yang membutuhkan, tetapi juga masyarakat. Surplus pangan di
tingkat wilayah belum menjamin kecukupan pangan bagi individu
masyarakatnya. Sistem distribusi ini
perlu dikelola secara optimal dan tidak bertentangan dengan mekanisme pasar
terbuka agar tercapai efisiensi dalam proses pemerataan akses pangan bagi
seluruh penduduk.
·
Subsistem
konsumsi pangan menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan
masyarakat agar mempunyai pemahaman atas pangan, gizi dan kesehatan yang baik,
sehingga dapat mengelola konsumsinya secara optimal. Konsumsi pangan hendaknya
memperhatikan asupan pangan dan gizi yang cukup dan berimbang, sesuai dengan
kebutuhan bagi pembentukan manusia yang sehat, kuat, cerdas dan produktif.
Dalam subsistem konsumsi terdapat aspek penting lain yaitu aspek diversifikasi.
Diversifikasi pangan merupakan suatu cara untuk memperoleh keragaman konsumsi
zat gizi sekaligus mengurangi ketergantungan masyarakat atas satu jenis pangan
pokok tertentu, yaitu beras.
Ketergantungan yang tinggi dapat memicu instabilitas apabila pasokan pangan
tersebut terganggu. Sebaliknya agar
masyarakat menyukai pangan alternatif perlu peningkatan cita rasa, penampilan
dan kepraktisan pengolahan pangan agar dapat bersaing dengan produk-produk yang
telah ada. Dalam kaitan ini peranan
teknologi pengolahan pangan sangat penting.
Pembangunan ketahanan pangan memerlukan keharmonisan dari
ketiga subsistem tersebut (Hardinsyah, Dodik Briawan, Retnaningsih, Tin
Herawati dan Retno Wijaya, 2002). Pembangunan subsistem ketersediaan pangan
diarahkan untuk mengatur kestabilan dan kesinambungan ketersediaan pangan, yang
berasal dari produksi, cadangan dan impor.
Pembangunan sub-sistem distribusi pangan ber-tujuan menjamin
aksesibilitas pangan dan stabilitas harga pangan. Pembangunan sub-sistem konsumsi bertujuan
menjamin setiap rumah tangga mengkonsumsi pangan dalam jumlah yang cukup,
bergizi dan aman. Keberhasilan pembangunan masing-masing sub-sistem tersebut
perlu didukung oleh faktor ekonomi, teknologi dan sosial budaya.yang pada
akhirnya akan berdampak pada status gizi
3.2 Pemantapan
Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan nasional masih merupakan isu strategis
bagi Indonesia mengingat kecukupan produksi, distribusi dan konsumsi pangan
mempunyai dimensi sangat luas dan terkait dengan dimensi sosial, ekonomi dan
politik. Dengan demikian diperlukan
penyelarasan peningkatan produksi di satu pihak (kepentingan makro) dan
peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani
di lain pihak (kepentingan mikro) dengan prinsip pembangunan dari, oleh
dan untuk masyarakat petani sebagai upaya pemberdayaan. Oleh karena itu, jika secara konsisten ingin
mensimultankan pencapaian tujuan peningkatan produksi dan tujuan kesejahteraan
khususnya untuk petani yang sebagian besar berusahatani pangan, maka kebijakan
swasembada (self sufficiency) untuk komoditi beras yang strategis haruslah
disesuaikan dan diarahkan kepada self sufficiency ratio sebagai guide lines
yaitu suatu indeks yang menunjukkan perbandingan supplai pangan yang harus
dihasilkan secara domestik terhadap jumlah keseluruhan permintaan pangan dalam
negeri. Dengan demikian terjadi
keseimbangan antara kepentingan produsen dan konsumen dengan tingkat harga
produk yang layak (at reasonable prices), sehingga memungkinkan usahatani itu
memperoleh nilai tambah, melakukan reinvestasi dan berkembang mandiri secara
berkelanjutan. Sikap seperti ini menjadi penting mengingat pemerintah
akhir-akhir ini kewalahan dalam mengamankan kebijakan harga dasar gabah/beras
sehingga cenderung sangat merugikan petani produksi. Dengan perkataan lain biarlah petani yang
melakukan keputusan-keputusan usahataninya sesuai signal pasar dimana
kepentingan petani produsen dan konsumen dalam konteks stabilitas dapat
diakomodir melalui pendekatan usahatani terpadu (mixed and integrated farming
system) yang mencerminkan the right crops in the right place principles. Upaya tersebut perlu pula diikuti dengan
kampanye pola makan (dietary pattern) untuk mengurangi tekanan terhadap
permintaan beras (Napitupulu, Tom Edward Marasi, 2000).
Pemantapan ketahanan pangan tidak terlepas dari
penanganan kerawanan pangan karena kerawanan pangan merupakan penyebab penting
instabilitas ketahanann pangan.
Kerawanan pangan dapat disebabkan karena kendala yang bersifat kronis
seperti terbatasnya sumber daya dan kemampuan, maupun yang bersifat sementara
seperti tertimpa musibah atau bencana alam.
Untuk mengatasi hal ini pemerintah dan masyarakat perlu membangun suatu
sistem kewaspadaan, yang mampu mendeteksi secara dini adanya gejala kerawanan
pangan di sekitarnya serta dapat meresponnya dengan cepat dan efektif. Penanganan yang cepat dan tepat sangat
diperlukan untuk menghindarklan masyarakat tersebut dari kerawanan yang lebih parah, dengan segala dampak yang
mengikutinya.
Ketahanan pangan yang kokoh dibangun pada tingkat rumah
tangga yang bertumpu pada keragaman sumberdaya lokal. Sejalan dengan dinamika
pemantapan ketahanan pangan dilaksanakan dengan mengembangkan sumber-sumber
bahan pangan, kelembagaan pangan dan budaya pangan yang dimiliki pada
masyarakat masing-masing wilayah.
Keunggulan dari pendekatan ini antara lain adalah bahwa bahan pangan
yang diproduksi secara lokal telah sesuai dengan sumberdaya pertanian dan iklim
setempat, sehingga ketersediaannya dapat diupayakan secara berkesinambungan.
Dengan kemampuan lokal tersebut maka ketahanan pangan masyarakat tidak mudah terpengaruh
oleh masalah atau gejolak pasokan pangan yang terjadi d luar wilayah atau luar
negeri.
Dalam kaitan inilah, aspek pemberdayaan ketahanan pangan
masyarakat menjadi sangat penting. Pemberdayaan masyarakat berarti meningkatkan
kemandirian masyarakat sebagai perwujudan dan pengembangan kapasitas masyarakat
yang berlandaskan pada pemberdayaan sumberdaya manusia agar dapat memenuhi hak
dan kewajibannya sesuai status dan peranannya dalam pembangunan ketahanan
pangan.
Namun demikian, setiap wilayah atau daerah mempunyai
keunggulan maupun keterbatasan dalam memproduksi bahan pangan secara
efisien. Ada daerah yang surplus dan ada
daerah yang minus dalam memproduksi pangan tertentu. Dengan banyaknya jenis
pangan esensial nabati maupun hewani sebagai sumber zat gizi makro dan mikro,
tidak satupun daerah mampu memenuhi seluruh jenis pangan yang dibutuhkan dan
diinginkan masyarakatnya.
Oleh karena itu interaksi antar wilayah mutlak diperlukan
bagi pemenuhan kebutuhan pangan, dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan
daerah. Demikian pula interaksi antar tataran daerah dengan tataran nasional,
dalam suatu jejaring yang aktif dan dinamis sangat diperlukan dalam rangka
ketahanan pangan nasional.
Pada dasarnya pemantapan ketahanan pangan dapat diwujudkan melalui pengembangan
sistem dan usaha agribisnis di bidang pangan, utamanya bagi golongan rawan
pangan sementara maupun rawan pangan kronis yang masih mempunyai potensi
pengembangan aktivitas ekonominya. Agribisnis pangan melibatkan banyak pelaku,
usaha kecil seperti petani, pengolah dan pedagang yang berbasis pada keunggulan
komparatif dan kompetitif sumberdaya lokal.
Agar terwujud ketahanan yang kokoh, mulai dari tingkat
rumah tangga sampai tingkat nasional, sistem dan usaha agribisnis yang dibangun
adalah yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan desentralisasi.
1.
Berdaya
saing, dicirikan dengan tingkat efisiensi, mutu, harga dan biaya produksi serta
kemampuan untuk menerobos pasar, meningkatkan pangsa pasar dan memberikan
pelayanan profesional.
2.
Berkerakyatan,
dicirikan dengan berkembangnya usaha produktif yang melibatkan masyarakat
secara luas dengan peluang berusaha, kesempatan kerja dan menikmarti nilai
tambah (pendapatan).
3.
Berkelanjutan,
dicirikan dengan kemampuan untuk meningkatkan kapasitas
sumber
daya pangan yang semakin besar dari waktu ke waktu yang semakin mensejahterakan
masyarakat baik secara ekonomis, sosial dan lingkungan hidup.
4.
Desentralistis,
diartikan bahwa kegiatan ekonomi ditentukan oleh masyarakat pelaku sesuatu
dengan kondisi wilayahnya atas dasar keunggulan komparatif dan aspirasi
masyarakat setempat (Anonymous, 2001).
3.3. Opsi
Pencapaian Ketahanan Pangan
Ada dua pilihan luas untuk mencapai ketahanan pangan pada
tingkat nasional yaitu swasembada pangan atau kecukupan pangan.9 Swasembada
pangan diartikan sebagai pemenuhan kebutuhan pangan, yang sejauh mungkin
berasal dari pasokan domestik dengan meminimalkan ketergantungan pada
perdagangan pangan. Di lain pihak,
konsep kecukupan pangan adalah sangat berbeda dengan konsep swasembada pangan,
akibat masuknya variabel perdagangan internasional. Dalam konsep kecukupan
pangan, menuntut adanya kemampuan menjaga tingkat produksi domestik ditambah
dengan kemampuan untuk mengimpor pangan agar dapat memenuhi kebutuhan
(kecukupan) pangan penduduk. Keuntungan
resiko dari menggantungkan pada perdagangan internasional untuk menjamin
ketahanan pangan saat ini tampaknya masih menjadi topik hangat perdebatan
diantara beberapa strategi alternatif.
Yang menjadi pertanyaan bersama ialah, bagaimana posisi dimasa yang akan
datang dan konsep apa yang akan dianut? Di dalam konstelasi perdagangan bebas
jelas kedua pilihan tersebut di atas harus dapat dirumuskan secara hati-hati
dan komprehensif dengan memper-timbangkan seluruh determinan faktor produksi,
pengadaan dan konsumsi pangan.
Ketahanan pangan di tingkat nasional merupakan prakondisi
penting dalam memupuk ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Ketahanan
pangan nasional selama ini dicapai melalui kebijaksanaan swasembada pangan dan
stabilitas harga. Secara umum pemerintah berupaya menjaga stabilitas pangan
(khususnya beras) yang diindikasikan dengan adanya kemampuan menjamin harga
dasar (floor price) dan harga langit-langit (ceiling price) yang ditetapkan
melalui pengadaan pangan dan operasi pasar dan terhadap tingkat harga pedagang besar yang jauh lebih
stabil lagi dari harga beras di pasaran internasional.
3.4. Strategi Pencapaian Ketahanan Pangan
Pada masa yang akan datang upaya-upaya memantapkan
swasembada beras dan pencapaian swasembada lainnya tampaknya perlu difokuskan
pada terwujudnya ketahanan pangan, diversifikasi konsumsi pangan serta
terjaminnya keamanan pangan.9 Dengan mengadaptasi pendapat dari beberapa dari
pakar, dapat dirumuskan beberapa strategi umum untuk mencapai ketahanan pangan
rumah tangga. Pertama adalah sangat
perlu untuk mengadopsi strategi pembangunan dan kebijakan ekonomi makro yang menciptakan
pertumbuhan yang berdimensi pemerataan dan berkelanjutan (sustainable
development). Kedua adalah merupakan keperluan yang mendesak untuk mempercepat
pertumbuhan sektor pertanian dan pangan serta pembangunan perdesaan dengan
fokus kepentingan golongan miskin. Dan ini berarti pertanian (pangan) harus
menjadi mainstream dalam ekonomi nasional.
Ketiga, sudah saatnya harus meningkatkan akses terhadap lahan dan
sumberdaya pertanian dalam arti luas secara lebih bijaksana, termasuk
menciptakan dan meningkatkan kesempatan kerja, transfer pendapatan,
menstabilkan pasokan pangan, perbaikan perencanaan dan pemberian bantuan pangan
dalan keadaan darurat kepada masyarakat.
3.5.
Aspek kebutuhan Pangan
Kebutuhan pangan di dunia semakin meningkat seiring
dengan bertambahnya jumlah penduduk di dunia. dengan adanya pertumbuhan
penduduk ini akan mengkibatkan berbagai permasalahan diantaranya kerawanan
pangan. Di Indonesia sendiri, permasalah pangan tidak dapat kita hindari,
walaupun kita sering disebut sebagai negara agraris yang sebagian besar
penduduknya adalah petani. Kenyataannya masih banyak kekurangan pangan yang
melanda Indonesia, hal ini seiring dengan meningkatnya penduduk.
Bertambahnya penduduk bukan hanya menjadi satu-satunya
permasalahan yang menghambat untuk menuju ketahanan pangan nasional. Berkurangnya
lahan pertanian yang dikonversi menjadi pemukiman dan lahan industri, telah
menjadi ancaman dan tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia untuk menjadi
bangsa yang mandiri dalam bidang pangan.
Ketahanan pangan minimal harus ada dua unsur pokok, yaitu
ketersediaan dan aksebelitas masyarakat terhadap pangan (Bustanul Arifin,
2004). Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan :
a. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari
sumber hayati dan air baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan
sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan
pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan atau pembuatan makanan dan minuman.
b. Pangan olahan adalah makanan atau minuman
hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.
c. Sistem pangan adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan pengaturan, pembinaan, dan atau pengawasan terhadap kegiatan
atau proses produksi pangan dan peredaran pangan sampai dengan siap dikonsumsi
manusia.
d. Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang
diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran kimia, biologis dan
benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.
e. Mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas
dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi, dan standart perdagangan
terhadap bahan makanan, makanan dan minuman.
f. Gizi pangan adalah zat atau senyawa yang
terdapat dalam pangan yang terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin,
dan mineral serta turunnya yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan
manusia.
g. Kemasan pangan adalah bahan yang digunakan
untuk mewadahi atau membungkus pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan
pangan maupun yang tidak.
h. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya
pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup.
3.5.1. Aspek Konsumsi
Permasalahan
dari aspek konsumsi diawali dengan suatu keadaan dimana masyarakat Indonesia
memiliki tingkat konsumsi yang cukup tinggi terhadap bahan pangan beras.
Berdasarkan data tingkat konsumsi masyarakat Indonesia terhadap beras sekitar
134 kg per kapita. Walaupun kita menyadari bahwa beras merupakan bahan pangan
pokok utama masyarakat Indonesia. Keadaan ini dapat mengancam ketahanan pangan
negara kita. Jika kita melihat bahwa produksi beras Indonesia dari tahun ke
tahun yang menurun tidak diimbangi dengan tingkat konsumsi masyarakat terhadap
beras yang terus meningkat. Walaupun selama ini keadaan ini bisa teratasi
dengan mengimport beras. Namun sampai kapan negara ini akan terus mengimport
beras? Pertanyaan ini perlu kita perhatikan.
Pola konsumsi
masyarakat terhadap suatu bahan pangan sangat dipengaruhi oleh dua faktor,
diantaranya : tingkat pengetahuan masyarakat tersebut terhadap bahan pangan
atau makanan yang dikonsumsi dan pendapatan masyarakat. Tingkat pengetahuan
masyarakat terhadap bahan pangan juga sangat mempengaruhi pola konsumsi
masyarakat tersebut. Apabila suatu masyarakat memiliki pengetahuan yang cukup
mengenai bahan pangan yang sehat, bergizi, dan aman untuk dikonsumsi. Maka
masyarakat tersebut tentunya akan lebih seksama dalam menentukan pola konsumsi
makanan mereka. Selain itu, pendapatan masyarakat sangat berpengaruh di dalam
menentukan pola konsumsi masyarakat. Semakin tinggi tingkat pengeluaran per
kapita per bulan suatu masyarakat maka akan semakin tinggi pula pola pangan
harapan masyarakat tersebut.
3.5.2. Aspek Kemiskinan
Ketahanan
pangan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh aspek kemiskinan. Kemiskinan
menjadi penyebab utamanya permasalahan ketahanan pangan di Indonesia. Hal ini
dikaitkan dengan tingkat pendapatan masyarakat yang dibawah rata-rata sehingga
tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri. Tidak tercukupi pemenuhan
kebutuhan masyarakat dikarenan daya beli masyarakat yang rendah juga akan
mempengaruhi tidak terpenuhinya status gizi masyarakat. Tidak terpenuhinya
status gizi masyarakat akan berdampak pada tingkat produktivitas masyarakat
Indonesia yang rendah. Status gizi yang rendah juga berpengaruh pada tingkat
kecerdasan generasi muda suatu bangsa. Oleh karena itu daptlah kita lihat dari
tahun ke tahun kemiskinan yang dikaitkan dengan tingkat perekonomian, daya
beli, dan pendapatan masyarakat yang rendah sangat berpengaruh terhadap
stabilitas ketahanan pangan di Indonesia.
Dari berbagai
aspek permasalahan di atas, sebenarnya ada beberapa solusi yang dapat dilakukan
oleh bangsa kita agar memiliki ketahanan pangan yang baik. Diantara solusi
tersebut ialah diversifikasi pangan. Diversifikasi pangan adalah suatu proses
pemanfaatan dan pengembangan suatu bahan pangan sehingga penyediaannya semakin
beragam. Latar belakang pengupayaan diversifikasi pangan adalah melihat potensi
negara kita yang sangat besar dalam sumber daya hayati. Indonesia memiliki
berbagai macam sumber bahan pangan hayati terutama yang berbasis karbohidrat.
Setiap daerah di Indonesia memiliki karakteristik bahan pangan lokal yang
sangat berbeda dengan daerah lainnya. Diversifikasi pangan juga merupakan
solusi untuk mengatasi ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap satu jenis
bahan pangan yakni beras.
Selanjutnya
ialah mendukung secara nyata kegiatan peningkatan pendapatan in situ (income
generating activity in situ). Peningkatan pendapatan in situ bertujuan
meningkatan pendapatan masyarakat melalui kegiatan pertanian berbasis sumber
daya lokal. Pengertian dari in situ adalah daerah asalnya. Sehingga kegiatan
peningkatan pendapatan ini dipusatkan pada daerah asal dengan memanfaatkan
sumber daya lokal setempat. Kegiatan ini dapat mengikuti permodelan klaster
dimana dalam penerapannya memerlukan integrasi dari berbagai pihak, diantaranya
melibatkan sejumlah besar kelompok petani di beberapa wilayah sekaligus.
Kegiatan ini juga harus melibatkan integrasi proses hulu-hilir rantai produksi
makanan. Pertumbuhan dari kegiatan hulu-hilir membutuhkan dukungan dari
teknologi. Teknologi dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi. Inilah tugas
dari akademisi. Akademisi berperan untuk melahirkan penelitian yang tidak hanya
dapat diterapkan pada skala lab namun juga dapat diterapkan pada skala
industri. Akademisi menjembatani teknologi sehingga dapat diterapkan pada skala
industrialisasi. Hal ini meningkatkan efektifitas dan efisiensi
industrialisasi. Model kelompok industri meliputi serangkaian program,
diantaranya :
1. Pengembangan
sumber daya manusia oleh partner industri
2. Persiapan
penanaman modal untuk inisiasi konstruksi dan sistem
produksi
3. Pengembangan brbagai macam produk pangan
yang dapat di proses secara komersial dan dijual ke pasaran
4. Penerapan konsultasi dan pengawasan dalam
penanganan komoditas dan keamanan produk kepada para petani sehingga dapat
memenuhi kualitas standart yang diterapkan oleh industri
5. Penerapan konsultasi dan pengawasan dalam
penanganan komoditas dan keamanan produk kepada para petani sehingga dapat
memenuhi kualitas standart yang diterapkan oleh industri
6. Pengembangan
dan penerapan operasi prosedur standar dari pabrik.
7. Inisiasi dan memperkuat jaringan dengan
perusahaan untuk pemasaran produk
Klaster merupakan kumpulan berbagai kelompok petani,
dimana satu kelompok petani merupakan satu industri kecil yang bekerjasama
untuk memproses bahan tertentu dan mengubahnya menjadi bahan setengah jadi
utnuk siap dipasok ke industri.
Bab
IV
Penutup
Istilah ketahanan pangan dalam kebijaksanaan dunia,
pertama kali digunakan pada tahun 1971 oleh PBB, tetapi Inodonesia secara
formal baru mengadopsi ketahanan pangan dalam kebijakan dan program pada tahun
1992, yang kemudian definisi ketahanan pangan pada undang-undang pangan no:7
ada pada tahun 1996.
Ketahanan pangan merupakan basis utama dalam wewujudkan
ketahanan ekonomi, ketahanan nasional yang berkelanjutan. Ketahanan pangan merupakan sinergi dan
interaksi utama dari subsistem ketersediaan, distribusi dan konsumsi, dimana
dalam mencapai ketahanan pangan dapat dilakukan alternatif pilihan apakah
swasembada atau kecukupan. Dalam
pencapaian swasembada perlu difokuskan pada terwujudnya ketahanan pangan.
Daftar
Pustaka
Anonymous,
2001. Program Kerja Pengembangan Kewaspadaan Pangan. Pusat Kewaspadaan Pangan 2001-2004. Pusat
Kewaspadaan Pangan. Badan Bimas Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta.
Barichello,
Rick, 2000. Evaluating Government Policy for Food Security: Indonesia. University of British Columbia. Berlin
Hardinsyah,
Dodik Briawan, Retnaningsih, Tin Herawati dan Retno Wijaya, 2002. Modul Ketahanan Pangan 03. Analisis Kebutuhan
Konsumsi Pangan. Pusat Studi Kebijakan
Pangan dan Gizi (PSKPG) Institut
Pertanian Bogor dan Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan (PPKP) Badan Bimas
Ketahanan Pangan, Deptan.
Latief, D.,
Atmarita, Minarto, Abas Basuni dan Robert Tilden, 2000.
Konsumsi Pangan Tingkat Rumah Tangga Sebelum dan Selama Krisis Ekonomi. Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi.VII. Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Muhilal, Fasli
Jalal dan Hardinsyah, 1998. Angka
Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi
VII. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Napitupulu,
Tom Edward Marasi, 2000. Pembangunan Pertanian dan pengembangan Agroindustri.
Wibowo, R. (Editor). Pertanian dan
pangan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Syarief,
Hidayat, Hardinsyah dan Sumali,
1999. Membenahi Konsep Ketahanan
Pangan Indonesia. Thaha, Hardinsyah dan Ala (Editor). Pembangunan Gizi dan
Pangan Dari Perspektif Kemandirian Lokal. Perhimpunan Peminat Gizi dan Pangan
(PERGIZI PANGAN) Indonesia dan Center For Regional Resource Development &
Community Empowenment. Bogor.
Sukandar,
Dadang., Dodik Briawan, Yayat Heryatno, Mewa Ariani dan Meilla Dwi Andestina,
2001. Kajian Indikator Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga: di Propinsi Jawa
Tengah. Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG) Lembaga Penelitian,
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Wibowo, R.,
2000. Penyediaan Pangan dan
Permasalahannya. Wibowo, R. (Editor).
Pertanian dan pangan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta
SF Terima kasih
ReplyDeleteSama Sama :D
Delete